Soundtrack

Bab -1- Awal Kesialan Beruntun

...

Tubuhku sudah dipenuhi dengan luka. Cubitan-cubitan dari cakar si kucing hitam itu datang bertubi-tubi. Hanya beberapa serangan yang mampu kuhindari. Sebuah alasan yang membuat aku mencoba bertahan dan memaksakan diri untuk melawannya, yaitu jerit kesakitan yang terdengar dari kejauhan, jeritan sahabat-sahabatku.

Ugh…!!!

Inikah yang namanya waktu diambang kematian? Memori kisah akhir-akhir ini bersama mereka pun terlintas jelas di dalam labirin otakku. Semenjak saat itu, 13 hari yang lalu…

@_@

Selasa, 16 Oktober 2007 – pagi

“Halo, Sakti Hidayat, my friend!” sapa lawan bicaraku lewat perantara handphone.

“Kayak mana, Sak? Udah siap lagu buat show besok malam?” sambungnya.

Klick! Telpon ditutup setelah ia mendengar kata NGGAK dariku.

Dia adalah Johan, teman seperjuanganku. Di band Super X, dia memegang posisi sebagai juru pukul alias Drummer. Dari kecil dia emang udah hobby banget mukul apa pun yang bisa dipukul. Bayangin… Mulai bisa mukul nyamuk semenjak umur delapan belas bulan, sangat bersemangat mengikuti ronda malam (selalu kebagian yang megang kentongan), penghargaan tukang berantem nomor wahid dari esde ampe esemu, dan dia mengaku bahwa hal pertama yang ia lakukan ketika lahir adalah… tepuk tangan pramuka.

Grrrrttt… grrrrttt… Handphoneku kembali bergetar hebat di dalam saku celana.

“Halo, Sak. Jam berapa kita latihan?”

“Mmm… Mungkin abis makan siang. Nanti gue hubungi lagi dah!” jawabku.

Kali ini adalah Krisna, personil band yang memegang posisi sebagai juru betot alias Gitaris Bass. Suaranya yang sering kami pake sebagai backing vocal persis sama dengan suara bass. Orangnya kalem dan pendiam, bersuara jika dia pikir apa yang bakalan diucapin adalah hal yang nggak buang-buang enerji. Hemat kata, itulah yang bisa menggambarkan kepribadian dari lelaki baby face pipi kempes ini.

Aku sendiri, Sakti, adalah pemrakarsa pembentukan band Super X yang berdiri sejak tanggal 3 Maret 2007 lalu. Di band, aku memegang posisi sebagai vokalis dan pencipta lagu. Mudah jatuh cinta dan sebaliknya mudah dicintai. Tempat tinggalku adalah studio latihan bagi kami. Hampir sama dengan Johan, bakatku pun telah nampak jelas semenjak kecil. Bayangin… Aku udah bisa bernyanyi pok ame-ame belalang kupu-kupu semenjak umur sebelas bulan. Di mana pun dan kapan pun aku paling nggak tahan kalo ngeliat ada mikropon. Di masjid menjadi langganan tetap baca azan, sewaktu upacara bendera selama sekolah selalu kepingin gabung di tim penyanyi (walau giliran bertugas adalah kelas lain), dan kata nyokap… aku lahir, 19 tahun yang lalu, dengan tangisan yang bernada lagu penyanyi cilik masa itu, Melisa. Begini lagunya…

Semut-semut kecil saya mau nanya,

Apakah kamu di dalam tanah tidak takut caciiing…

Oeeeeek oek… itu katamu

Oeeeeek oek… itu jawabmu

Namun, setelah kupikir-pikir, hal ini lebih mirip seperti sindiran daripada pujian. Semua bayi pasti bisa menyanyikan lagu itu kalo hanya di bagian Oeeeeek-nya aja.

Personil terakhir band ini adalah Ezra, personil band paling narsis, yang memegang posisi sebagai Lead Guitarist. Nggak bisa dipungkiri, kenarsisannyalah yang membuat kami menjadi terkenal dengan pesat. Tapi dia emang berhak untuk narsis karena permainan gitarnya luar biasa hebat. Sebelum bergabung dengan band, dia sudah memiliki tabulatur melodi ciptaannya sendiri. Terkadang, aku menciptakan lagu berdasarkan melodi-melodi itu. Mahluk narsis seperti dia, aku yakin yang pertama kali dicarinya setelah lahir adalah cermin. Dan sekarang pun, aku yakin dia nggak peduli jam berapa kami bakal latihan. Dia pasti sedang menunggu konfirmasi dariku di depan cermin kamarnya yang sudah retak-retak karena nggak tahan dipaksa melulu untuk bilang Ezra ganteng.

“Wahai cermin… Gue ganteng, kan? Bener, kan? Pastinya dong? Awas loh kalau loe bilang gue jelek! Gue ganteng kan?” ucap Ezra yang mencoba memasang tampang segenit mungkin.

Ahhh… pagi yang segar.

Bisa dibilang aku cukup beruntung punya bokap relatip kaya yang mau ngedukung hobby anak semata wayangnya ini. Bokap adalah perantauan dari Jakarta yang sukses berat menjadi saudagar kelapa sawit di Rantauprapat[1] sejak tujuh tahun yang lalu.

Aku sendiri baru empat tahun terakhir menyusul ke Sumut, setelah tamat esempe tepatnya. Dipaksa bokap biar nggak merindu, bisa ketemuan kapan pun dia mau. Saat aku masuk kuliah di USU–Medan, bokap sedang dirundung keuntungan hasil kebon yang berlipat ganda. Itulah mengapa aku bisa dengan gampang ngebujuk bokap untuk ngebeliin sebuah rumah, bekas studio musik yang sudah bangkrut, sebagai tempat tinggalku di Medan. Maka dibelilah rumah studio itu plus alat-alat musik band yang baru agar hobby musikku pun dapat disalurkan.

Sekarang ini aku sedang berbaring di open space yang terletak di tengah-tengah rumah studio yang sederhana ini. Kalo kita liat sekeliling, dari belakang ke depan akan kita jumpai kamar pembokat, dapur, toilet tamu, studio musik nomor dua, ruang kecil yang aku pake buat gudang, studio musik nomor satu, pintu menuju garasi, dan akhirnya kamarku, yang di dalamnya ada kamar mandi, pantry, ruang menulis dan belajar, ruang shalat, dan offcourse ruang tidur.

@_@

Dan kini aku sedang berbaring di sebuah ayunan santai ditemani sebuah gitar merk Yamaha di pelukan, di bawah pohon jambu air yang berdaun rindang. Keringatku mengalir bercucuran menunggu sesuatu buat dikeluarkan. Entah apa yang mengganjal sehingga yang kutunggu-tunggu untuk keluar belum juga bisa berhamburan. Ough… sudah dua jam dan belum juga terkeluarkan.

“Gue kok jadi lem nasi[2] gini yak?” aku mempertanyakan kerja otak yang biasanya gampang konek. Biasanya, cukup berbaring sebentar di ayunan ini, dan crottt…! keluarlah semuanya berhamburan, sebuah lagu terciptakan.

Dua jam berlalu begitu saja tanpa setitik nada pun tergores di buku warna biru langitku ini. Belum ada nada yang cocok, belum ada nada yang benar-benar ngepas di hati. Kucoba liat sekali lagi lirik yang sudah tiga hari terus terbaring kaku tanpa punya nada.

S’moga turun cahaya bintang yang terang itu

Menghiasi hari-harimu nanti

Dan bila cah’ya itu datang janganlah kau lepaskan

Teruslah kau pandangi aku yang ada di situ


Selamat ulang tahun kepadamu sahabat

S’moga bayangan malam tak mengganggu tidurmu

Selamat ulang tahun kepadamu sahabat

S’moga s’lalu tersenyum dalam hari yang indah


Ada bayangan kita waktu kita bersama

Bermanja bawa ceria oh sahabat..

Hadirmu bawa arti sendiri di dalam hati kami

Bebas layangkan malam terbawa sampai mimpi

“Uh siaaalll…!!!” mulutku mulai menggerutuk menampakkan urat nadi di jidatku yang rada nungul.

Well, bagaimana aku nggak ngerasa suntuk. Besok malam Super X bakalan nampil di pesta ulang tahun si Olva, gebetan sejatiku. She’s the special one, satu-satunya cewek yang pernah nolak proposal cinta dariku. Rencanaku, inilah percobaan kedua mengungkapkan rasa cinta, dengan cara memberi kesan indah di pesta ultahnya. Tapi, bagaimana bisa? lirik lagu ini aja belum bisa kusempurnakan tercipta dengan nada irama. Kalo boleh ngutip kata pepatah, ingin hati memeluk gunung apa daya kecebur di sungai, dikejer ama buaya, sampai di hutan dikejer lagi ama harimau, cappek deeeeh!

Jrengg…

Suntuk, kucoba genjreng-genjreng tuh gitar sembarang genjreng, menutup mata membayangkan kecantikan Olva yang terakhir kulihat lagi jogging di sekitaran kampus dengan keringat mengalir di wajahnya. Aku ngerasa bahwa perempuan akan selalu terlihat cantik kalo sedang berkeringat.

Jrengg… Kubuka dari kunci C…

Jrengg… Pindah ke kunci G…

Jrengg… Pindah lagi ke kunci C…

Jrengg… Terus pindah ke kunci D…

“Ah! Kunci-kunci standard yang jarang sukses untuk bikin lagu bagus!” pesimis, kuserup teh manis hangat biar lebih menyegarkan jari ini biar kembali terampil.

Jrengg… Kunci itu-itu lagi…

Jrengg… Idem…

Jrengg… es-de-a

Jrengg…

Lamat-lamat pesimistis yang tadi ada berubah bersemangat. Kekeuh dengan kunci yang itu-itu aja, nggak bisa menuju ke kunci lain, akhirnya membuat beberapa nada mulai tergumam dari bibirku.

“Wew!!!” Nggak lama kemudian tubuhku udah terlihat ngeloncat-loncat girang.

“Bisa nih, enak nih, wew! Yang denger lagu ini kalo udah jadi, pasti bakal ikutan loncat-loncat girang!!!”

Akhirnya kudapatkan inspirasi irama dan kini mulai lebih serius dengan buku not balok yang sudah kupersiapkan sedari tadi. Namun… ketika hendak membuat irama di bagian REFF lagu, tiba-tiba aja…

Blugggkk…!!!

Ada sesuatu yang keras jatuh ke kepalaku dari atas pohon. Langsung aja kuberdiri memasang jurus Gajah Terkutuk Mengamuk di Saat Ngantuk. Lalu kucoba mengkolaborasikannya dengan jurus Macan Bertanduk Menyeruduk Kunyuk yang Digigit Nyamuk. Hiatt… Hiaaattt…!

Blugggkk…!!!

Ada lagi yang jatuh. Kali ini kupasang jurus Kuda Terbang Melayang di Waktu Siang Ketabrak Pesawat Terbang dengan jurus pamungkas Rusa Belang Menerjang Musang Jalang Dari Kumpulan yang Terbuang. Hiatt… Hiaaattt…!

Blugggkk…!!!

Kucoba mengatur nafas menenangkan jantung yang berdebar kencang.

Ahhhh, bener aja. Ternyata yang jatuh tadi itu hanyalah jambu air yang udah kematengan.

“Jambu sialan!” mulutku munyung.

Aku pun meneruskan lagi cumbuan yang sempat tertunda bersama nada-nada. Rasanya itu melegakan banget tatkala bisa negluarin ide dari hati dengan sangat lancar tanpa hambatan. Hanya butuh beberapa menit... hingga akhirnya lagu itu telah siap sedia sempurna tercipta, siap untuk diaransemen. Aku beranjak bangkit dari ayunan santai, masuk ke dalam kamar mengambil handphone di pembaringannya, menghubungi kawan-kawan yang lain.

Kringggg… Kutelpon Johan, “Siap, Bos!”

Krongggg… Kutelpon Krisna, “Lima belas menit aku nyampek!”

Krengggg… Kutelpon Ezra, “Pas banget. Gue barusan siap facial ama creambath!”

Kini, yang perlu kulakukan hanyalah menunggu mereka semua datang. Mendiskusikan style lagu yang cocok, dilanjutin dengan aransemen di masing-masing posisi, ngedit aransemen lewat beberapa kali latihan, dan lagu ini pun bakalan siap ditampilin tepat pada waktunya, besok malam. Olva… Here I come, honey.

Kembali ke ruang terbuka…

Betapa ku sangat kaget luar biasa ketika balik ke situ. Dua kucing berwarna hitam terlihat sedang berantem cakar-cakaran di ruang terbuka yang kuberi nama Theater of Dream (saking seringnya aku ketiduran di sana).

Miawwzzz…

Miauoewwz…

Mi tiauwz…

Mi bakpaowzz!!!

Teriakan mereka berdua nggak kalah heboh dengan suara ibu-ibu yang sedang ngegosipin berita cerai para artis yang sedang gencar ditayangin di infotaiment. Juga nggak kalah nyaring ama suara Mbah Kriskudo, penjual bakso yang suaranya asli cempreng. Mereka mulai bergumulan, cakar-cakaran, gigit-gigitan, dan senggol-senggolan.

“Oh, my God!!!” jeritku menggigit bibir bawah. Gawat, mereka mulai bergumul di atas meja, tempat tergeletaknya buku not balokku.

“Oh, sialan!!!” Wajahku mulai menyedihkan, buku not balok itu berantakkan dibuat mereka. Aku mulai ketar-ketir melintir kuncir. Buku itu harus diselamatkan sekarang juga, sebelum terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Nggak mau menunggu lama, mulai ku nyoba cari cara buat ngusir mereka enyah dari situ.

Kulemparin beberapa batu kerikil mungil sebesar kutil kuda nil. Hasilnya nihil, mereka nganggap lemparanku seolah upil.

Kulemparin daun sehelai. Ahh… kaga nyampe.

Kulemparin ikan satu ekor, mereka cuek bebek dan tetep aja berlaga tarung ronde ketiga.

Kulemparin ikan dua ekor, tiba-tiba malah lenyap menghilang. Grrr… ternyata kucing lain yang nyamber.

“Sudah!!!” jeritku bergegas. Kesabaranku habis sudah. Akhirnya aku nekat nyamperin mereka berdua dengan resiko tercakar atau tergigit. Kujewer kuping mereka dan kupukul pantat masing-masing ampe berwarna merah meriah renyah.

“Awwww!!!” terpekik dan meringis. Salah satu kucing menggigit pahaku dan hampir saja menggigit warisan berharga dari nenek moyang.

“Sialaannnn!!!” makiku merapatkan gigi.

Sebenarnya sedari kecil, aku punya kelemahan yang udah jadi penyakit akut. Sensitifitasku ama hal-hal yang bersifat mengejutkan sangatlah tinggi. Kalo dalam bahasa kerennya disebut berbakat latah. Seperti sekarang ini, terkejut digigit secara tiba-tiba, membuat refleksku kambuh.

Syuuut!

Kulempar kucing yang curang maen gigit itu sekuat tenaga nggak tentu arah.

Brakk!! Pertama ia ngebentur ranting pohon jambu,

Brukk!! Lalu mental ke arah tembok samping dan akhirnya jatuh ke dalam parit.

Glup…!!! glup… glup…

Kutunggu kucing itu keluar dari parit biar bisa puas kuejek-ejek kekalahannya.

Satu detik…

Dua detik……

10 detik………

20 detik…………

Oh my god, I think I kill the cat… ooops.” Kudekati parit itu dengan perasaan was-was. Ahhh, parit itu terlihat berwarna hitam dan lebih hitam dari biasanya. Mungkinkah warna hitam itu adalah hasil lumeran cat bulu si kucing, buat nutupin ubannya?

Where the hell is the cat now?” Nggak kudapatin dia diam membisu, nggak kudapatin sisa erangannya di sana, yang kudapatin hanyalah hening yang membiru bisu. Nggak ada bekas luka, nggak ada bekas pergumulan, hanya bercak merah di sepray ini… Oops wrong window

Tapi begitulah, kucing hitam itu menghilang secara misterius. Tinggallah aku hanya bisa memandangi parit itu dengan ekspresi bingung. Sebelum otakku sempat bertanya-tanya lebih jauh lagi, temen-temen satu bandku mulai berdatangan satu-persatu.

Buku not balokku masih utuh, temen-temen personil Super X telah datang. Hanya sejenak lamunanku disita oleh si kucing hitam, namun akhirnya terlupakan oleh bisingnya gitar listrik, gitar bazz, drum, dan suaraku yang tetep aja terdengar begitu merdu. Kami siap untuk manggung besok malam. Di pesta ulang tahun Olva Patriani, si manis dari Jembatan Semanggi.

@_@



[1] Ibukota Kab. Labuhanbatu, daerah penghasil kelapa sawit terbesar di Sumut.

[2] Lemah Imajinasi.

...

1 komentar:

Blogger Templates by Blog Forum